Menemukan kemunculan film Dua Garis Biru di aplikasi Viu sungguh membuat saya senang bukan kepalang. Sudah cukup lama memang saya mengincar kesempatan untuk bisa menyaksikan salah satu karya dari Gina S. Noer ini. Sayangnya, saat film yang dibintangi juga oleh Cut Mini ini sedang naik tayang, rupanya saya nggak punya kesempatan untuk menyambangi bioskop, dulu.
Tentang Film Dua Garis Biru
Awalnya saya bertanya-tanya, kenapa sih Gina S. Noer
memberikan judul yang sungguh memancing pertanyaan begini? Kenapa harus garis
biru? Apakah kelak akan bermakna “feeling
so blue” bagi sepasang remaja yang telah salah melangkah? Its mean, berpacaran yang terlalu merasa
bebas sehingga terjadi kecelakaan, bisa membuat kehidupan jadi babak belur?
Pada kenyataannya, jika sepasang kekasih muda salah jalan,
bukan hanya dirinya saja yang sesungguhnya merugi. Melainkan seluruh keluarga
inti. Sesuatu yang mungkin saja saat kenakalan itu terjadi, nggak lekas
tersadari.
Judul : Dua Garis Biru
Tahun Tayang : 2019
Sutradara : Gina S. Noer
Penulis Skenario : Gina S. Noer
Produser : Chand Parwez Servia
Komposer : Andhika Triyadi
Pemain Utama : Adhisty Zara, Angga Yunanda
Durasi : 1 jam 53 menit
Sinopsis Dua Garis Biru
Cerita Dua Garis Biru dibuka dengan penggambaran suasana
kelas di salah satu Sekolah Menengah Atas. Seorang guru sedang meminta muridnya
untuk berdiri dari duduknya, ketika nilai hasil ulangannya diumumkan.
Dara (Adhisty Zara) dan Bima (Angga Yunanda) yang duduk
sebangku, mendapatkan nilai yang berbeda cukup jauh. Di sini, sudah
diperlihatkan bahwa secara akademis, Dara lebih pintar dibandingkan Bima.
Namun, pada scene awal, penonton pun
sudah disuguhkan hubungan percintaan antara Dara dan Bima yang terang-terangan
alias sudah diketahui oleh kebanyakan teman-teman mereka.
Saya ternganga ketika mendapati kalau teman-teman yang
mengenal keduanya, sudah sering memanggil mereka dengan sebutan “suami-istri”.
Beruntung, bukan panggilan sayang “Mama Papa” atau “Ayah Bunda” nih yang
digunakan Dara dan Bima ya. Bisa persis kelakuan anak-anak jaman sekarang, ya
nggak sih?
Hubungan keduanya terlihat baik-baik saja. Biasa saja.
Hingga, saya disuguhkan keberanian Dara yang membawa Bima masuk ke dalam kamar
tidurnya. Apalagi saat itu, nggak ada seorang pun – bahkan nggak ada Asisten
Rumah Tangga – yang menyambut kepulangannya. Seketika dada saya bergemuruh,
“ah, betapa bahayanya membiarkan anak remaja leluasa membawa temannya masuk ke
ruang pribadinya di rumah”.
Selanjutnya, seperti yang sudah bisa penonton tebak. Dara
dan Bima yang awalnya hanya bermain ala teman remaja, karena keadaan dan
kesempatan, akhirnya mempraktekkan secara langsung, salah satu hasrat purba
manusia, jalan menuju reproduksi untuk menghadirkan generasi. Aih, ribet banget
ya saya mau menyebut asyik mahsyuk doang.
Ketakutan mulai mendera keduanya, selepas prosesi hubungan
badan itu terjadi. Mungkin, di saat itu, mereka tersadar akan sebuah kesalahan
besar yang baru saja mereka perbuat. Rasa khawatir yang paling besar saya
tangkap, tentu saja dari tokoh Dara. Ya … pahamlah betapa perempuan yang sudah
“gimana gimana” seolah menjejak selamanya, sebab hanya kaum Hawa yang diberi
rahim, bukan?
Tapi, kata siapa Bima lepas tangan? Dengan kelakuan
kekanak-kanakan khas remaja lelaki usia 17 tahun, ia berusaha untuk menunjukkan
tanggung jawabnya. Mendapati Dara malu untuk memberi testpack, ia yang kemudian
memesannya. Momen Bima menerima paket belanjaannya ini cukup membuat saya
gemas, soalnya menghadirkan Bintang Emon. Hehe.
Bima juga terlihat menemani Dara saat Dara akan menggunakan
testpack. Demi apa, Bima bebas sekali keluar masuk di kamar Dara. Bahkan sebuah
kamar mandi yang disediakan khusus di dalam kamar Dara, seolah memberi kesan
bebas mengatur kadar privasi di dalam rumah keluarganya sendiri. Duh.
Kisah pun berlanjut dengan kegalauan Bima dan Dara. Bingung
dan panik menghadapi kenyataan kalau hubungan intim yang mereka lakukan untuk
pertama kalinya, membuahkan janin. Andai mereka tahu, kelak si anak hanya
mendapatkan bin atau binti dari ibunya, bukan dari ayahnya … tuh, beneran
menjejak sepanjang usia dan diturunkan ke si anak lho. Correct me if I am wrong
ya, gengs.
Bima, si anak yang rupanya besar dalam lingkungan rumah yang
kumuh – kalau boleh disebut begini – juga teman-temannya yang “acak-acakan”,
berjuang mencari jalan keluarnya sendiri. Hingga aborsi, diperjuangkannya. Dari
mulai berkonsultasi pada teman yang – bisa jadi – sudah punya pengalaman,
sampai meminjam uang pada tokoh Pong – entah dibintangi siapa karena selalu
tertutup kostum Ondel-Ondel.
Dara yang tadinya setuju, urung dan luluh. Ia nggak mau
membunuh jabang bayi yang sudah berkembang di dalam tubuhnya. Ia memilih untuk
mempertahankannya. Di sinilah awal kisah kekacauan yang semakin besar akhirnya
bersiap untuk meledak.
Perut Dara yang mulai membesar, mulai ditutupi dengan jaket
dan rok yang ukurannya lebih besar. Tapi waktu sering mengejutkan. Semuanya
yang berhasil ditutupi dengan rapi, terbuka. Terendus oleh pihak sekolah.
Memaksa dua pasang orang tua siswa dengan latar belakang yang jauh berbeda,
bertemu di ruang Kepala Sekolah.
Hasilnya? Dara tentu saja di-drop out. Bima, sayangnya masih bisa bersekolah, dengan alasan, ia
akan menjadi kepala yang kalau nggak melanjutkan pendidikannya, entah bagaimana
akan memberi nafkah bagi anak dan istrinya kelak.
Di bagian ini, sungguh saya bercucuran airmata. Merasai
pedihnya hati Ibu dari tokoh Bima yang diperankan oleh Cut Mini. Menemukan
ekspresi patah hati yang begitu dalam. Sendu, seolah ia satu-satunya ibu yang
telah gagal mendidik anak lelakinya. Belum lagi beratnya hidup yang ia jalani
bersama suami yang telah memasuki masa pensiun. Ah … bagaimanalah jadinya.
Di sisi lain, ibu dari Dara yang menghadirkan artis senior
Lulu Tobing, hadir sebagai ibu penuntut yang hanya bisa meluapkan amarahnya.
Saya paham, pastilah ibu dari Dara ini kecewa luar biasa. Kepercayaan yang
telah lama diberikan pada putri sulungnya, dilanggar dengan sebuah masalah
besar.
Akan bagaimanakah jalannya nasib dari Dara dan Bima? Apa
pilihan hidup yang akhirnya dilalui, demi mempertanggungjawabkan sebuah
kesalahan? Sehancur apa masa remaja dari Dara dan Bima? Hmm … kamu bisa ikut
menyaksikan cerita lengkap Dua Garis Biru melalui aplikasi menonton ya.
Pesan Dari Film Dua Garis Biru
Saya panas dingin membayangkan berada di posisi dari ibunda
Bima yang diperankan oleh Cut Mini. Pantas jika selanjutnya, Cut Mini
mendapatkan penghargaan sebagai Pemeran Pendukung Wanita Terbaik pada Festival
Film Indonesia 2019. Momen yang juga menjadikan Gina S. Noer menerima
penghargaan untuk Skenario Asli Terbaik.
Selanjutnya, berbagai penghargaan pun diganjar kepada film
Dua Garis Biru. Seperti pada Festival Film Bandung 2019 yang menjadikan film
bertema kehidupan remaja ini diganjar Film Bioskop Terpuji, Penulis Skenario
Terpuji Film Bioskop, juga Penata Artistik Terpuji Film Bioskop kepada Oscart
Firdaus.
Nggak berhenti di 2019, pada 2020 di ajang Indonesian Movie
Actors Award 2020, Dua Garis Biru kembali menerima predikat sebagai Film
Terbaik, Pemeran Utama Pria Terfavorit untuk Angga Yunanda, Pemeran Utama Wanita
Terfavorit untuk Adhisty Zara, Pemeran Wanita Pendukung Terfavorit untuk Cut
Mini, dan Pemenang Pasagan Terfavorit kepada pemeran Bima dan Dara. Wua …
banyak ya.
Dari Dua Garis Biru saya disenggol tentang menjaga seorang
anak remaja rupanya lebih butuh banyak perjuangan dibanding menjaga seorang
anak bayi batita balita. Terpikirkan betapa mengasuh anak-anak di bawah usia 10
tahun rupanya hanya penuh antisipasi demi menjaganya dengan baik, memberi
nutrisi yang sesuai, dan lain sebagainya. Sementara, mengurusi anak remaja,
dimana kebanyakan pada rentang usai ini, sosoknya sudah merasa dirinya dewasa,
berat sekali.
Menanamkan keyakinan dan iman itu nggak mudah. Menjaga
pergaulannya, juga sama nggak mudahnya. Tantangannya lebih gila. Maka …
kedekatan akan aktivitas harian anak, bagaimana ia menjalani hari dan mulai
menentukan pilihan hidupnya, perlu selalu didampingi. Bukan dalam artian
disuruh dan dipaksa ala helicopter parenting ya. Salah-salah, si anak remaja
merasa tersiksa dan bukannya dekat secara utuh sama orangtua, melainkan menjauh
secara batin.
Saya terbayang, betapa paniknya Cut Mini ketika Bima pulang
tanpa membawa pulang motornya. Menemukan sang anak lelaki menangis penuh beban
di meja makan. Kehidupan yang sudah berat, membuat sang ibu lupa berlemah
lembut dan langsung menuduh, menghakimi, melabeli, dan memaksa sang anak untuk
mengakui kesimpulan yang didapat secara tiba-tiba. Di sisi ini, saya tersentil,
bahwa menjadi ibu juga bukan hal yang mudah.
Hal yang nggak jauh berbeda dengan yang dimunculkan pada
gestur dan mimik Lulu Tobing. Depresi. Stres tinggi, menemukan anak perempuan
yang selama ini ia percaya ternyata salah memilih jalan, bertindak tanpa rasa
khawatir, dan abai meletakkan batas demi menjaga dirinya sendiri. Wajar saja
jika Lulu Tobing malah nggak mau Dara pulang ke rumah. Membiarkan ia pergi
menjauh sementara, demi menenangkan segala kekalutan di dalam dirinya.
Duh, biyung. Siapa sih yang siap menghadapi kenyataan pahit
akibat kenakalan remaja seperti ini? Hati ibu mana sih yang nggak akan hancur
berkeping-keping? Ayah mana sih yang – dalam catatan si tokoh Ayah peduli dan
punya concern pada keluarga ya –
nggak ikutan remuk? Saudara kandung dari Dara dan Bima saja ikut menanggung
malu lho. Mendapat sedikit banyak pengaruh juga dalam kehidupannya.
Inilah pesan tersurat yang jelas sekali terpampang bagi saya
selepas menonton salah satu film karya Gina S. Noer ini. Betapa urusan keluarga
itu bukan hal sederhana, simple, mudah. Berat … apalagi segala tindak tanduk
anggota keluarga, turut memberi kontribusi. Ini nih yang kadang – bahkan saya
menikmati sendiri rasanya – para adik-adik remaja nggak sadari, alih-alih
egonya sedang menggelora, keakuannya sedang meraja.
Semoga, walau sudah nggak tayang lagi di bioskop, alias
masih bisa disaksikan melalui platform streaming tontonan yang legal, banyak
adik-adik remaja yang tergiur untuk mengambil pesan dari Film Dua Garis Biru.
Hal yang sama saya harapkan juga pada dua sejoli yang sedang berjuang membangun
keluarga, para ibu dan ayah dengan anak remaja juga tentunya. Dari sebuah
karya, kita bisa belajar. Dari Film Dua Garis Biru, kita bisa mencari setitik
pengalaman yang semoga nggak menjejak pula sepanjang kilometer jalan kehidupan
kita semua.
Saya sudah nonton film ini, kasihan banget rahim ya sampai harus diangkat. Tapi memang ceritanya bagus sih buat ditonton remaja, supaya mereka paham hamil diusia dini itu efek negatifnya ga main-main
BalasHapusMungkinkah di masa depan, akan menyesal karena nggak punya rahim lagi? Penyesalan yang harus ditanggung karena tindakan yang dipilih di masa remaja ya.
HapusAku ini lihat di bioskop dan feeling so blue juga. I mean, Bima besar di keluarga yang baik, rajin ibadah, ngga broken home, ayah ibunya sayang. Eh masih terjerumus pergaulan bebsa. Karena dapet kesempatan kali ya di rumah Dara. Zara cocok banget jadi Dara yang manja. Padahal baru lihat keluarga cemara dan masih anak-anak banget. Bima ngga lepas tangan aja udah bagus banget, tapi tetep aja perbuatan mereka ngga bisa dibenarkan.
BalasHapusIya lho, nggak kebayang Bima bisa seperti itu padahal kelihatannya di rumah, dia anak yang baik dan baik-baik saja. Duh, "kesempatan" waktu main ke rumah Dara ini sih yang sepertinya bikin ngeri.
HapusAku udah nonton film ini, Mbak. Banyak pelajaran berharga untuk kedua orangtua dalam mendidik anak di film Dua Garis Biru ini.
BalasHapusAku nonton ini di bioskop, sendirian dan air mata langsung ngecembeng di beberapa scene film. Angga dan Zara bagus banget sih aktingnya didukung oleh aktor2 senior kek Cut Mini yang tentu nggak usah diragukan lagi.
BalasHapusSebagai ibu, betapa banyak pelajaran parenting dari film ini. Hanya saja kalau mau ditonton sama anak, wajib banget didampingi dan diberikan edukasi setelahnya, diajak ngobrol dari hati ke hati tentang yay and nay saat berkawan dengan lawan jenis.
Aku nonton dilink2 yang ada di youtube, dan sangat sedih ketika Dara yang masih sangat muda sudah harus kehilangan rahimnya:(
BalasHapus